Identitas Buku Judul: Aleph Penulis: Paulo Coelho Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2013 Jumlah halaman: 302 halaman. Cerita Singkat Sudut pandang tokoh utama ada penulis sendiri. Di sini penulis menceritakan pengelamannya melakukan perjalanan sejauh 9.288 km, yakni perjalanan melaui jalur kereta api Trans-Siberia, dari Moscow menuju Vladivostok. Penulis melakukan perjalanan bersama orang-orang yang bekerja dengan dirinya penerbit dan editor. Selain itu, ia juga mengajak orang lain yang ia kenal baru saja saat memulia perjalanan tersebut. Sebetulnya perjalanan ini telah dilakukan penulis sebelumnya. Namun, ia melakukan lagi dengan misi untuk menemukan aleph, energi dari kerajaannya sendiri. Di sini penulis menceritakan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi, orang-orang yang pernah ia temui dan kenali, hingga pengalaman-pengalaman baik pahit maupun menyenangkan yang ia alami. Hal ini semua ia lakukan untuk menemukan aleph. Keunggulan Novel Penulis benar-benar...
SEBEL 100 HARI
Sore hari, pukul empat.
Keluar kamar mandi dengan memakai handuk kuning dililit di tubuhnya. Rambut di
jepit keatas hingga ujungnya tidak mengenai bahu. Setelah menanggalkan handuk
dan meletakkan diatas tempat tidur , berjalan ke arah lemari pakaian. Dibuka,
diamati sambil bertolak pinggang, memilih pakaian yang pantas digunakan ke
acara yang telah direncanakan itu.
Pilihan jatuh ke baju bercorak garis-garis horizontal
kuning – putih, dengan leher model sabrina, dan rok selutut yang berwarna
senada. Diamatinya di depan kaca sambil memiringkan kepala ke kiri dan kanan,
diputar – putar badan yang bagian depannya telah ditutupi baju itu 90 derajat
ke kiri dan kekanan, kemudian kembali menatap lurus kedepan kaca. Berdiri
sedetik, dua detik, tiga,….. dihempaskannya baju itu ke atas tempat tidur
menemani handuknya yang masih agak basah itu.
Kembali ke awal tindakan tadi. Berdiri di depan lemari
pakaian sambil bertolak pinggang. Kali ini dengan memiringkan kepala ke kanan
dan menumpu seluruh badannya ke kaki kanan. Mulut di manyunkan ke depan dengan
mata melihat ke kiri dan ke kanan mengamati koleksi baju-bajunya. Untuk lemari
ukuran itu koleksi bajunya bisa dibilang banyak namun kurang variatif. Sambil
melengos Nia mengambil baju atasan kemeja berwarna kuning muda dengan renda di
sisi kiri kanan kancing depannya, serta celana ¾ warna Khaki gelap.
Setelah diyakininya akan memakai baju itu, Nia bergegas
mangambil tas perlengkapan dandannya dan duduk di depan kaca. Wajah Nia bisa di
bilang biasa saja namun ia tahu bagaimana membuat dirinya tampil menarik. Poles
sana, poles sini, dan sentuhan akhirnya adalah diberikan warna caramel muda
pada bibirnya. Rambut hitam lurus sebahu di sisir dan di berinya jepit senada
dengan baju di sisi kanan kiri atas kepalanya.
Dipastikannya sekali lagi penampilan Nia di depan kaca. Sambil tersenyum
dan mengangguk, Nia membayangkan suasana yang akan dia nikmati sore itu bersama
teman-temannya.
Sesegera mungkin Nia keluar dari kamarnya dengan tidak
lupa membawa perlengkapan pribadinya di dalam sebuah tas kecil dengan tali yang
di selempangkannya di badannya. Tinggal alas kaki pelengkap penampilannya yang
belum digunakan. Keluar dari kamar, Nia menuju rak sepatu. Ini bukan rak khusus
sepatu Nia, melainkan rak sepatu umum. Ada sandal pergi ibunya, sepatu kerja
hitam ayahnya, sepatu olah raga Toni dan Dito adiknya yang masih SD, juga
sepatu kets butut warna biru kesayangan abangnya Andi. Disamping itu ada juga
alas kaki – alas kaki lain yang sudah berdebu karena jarang digunakan.
Nia mengambil sandal cantik berwarna senada dengan
celananya. Nia sangat menyukai sandal itu karena sandal itu merupakan oleh-oleh
dari seseorang yang dikagumi Nia dan sangat cocok di kakinya. Sepatu-sepatu dan
sandal Nia yang lain tidak terlalu unik. Hanya ada dua pasang sepatu; sepatu
untuk olah raga dan sepatu pantovel. Kemudian sepasang sandal berwarna putih
yang selalu dipakai Nia jika pergi
keluar bersama teman-temannya di sore hari. Itu pun tampak sudah lama sekali
dipakai, warnanya tidak seputih baru lagi. Jadi tidak heran Nia senangnya bukan
main mendapat sandal baru, dari seseorang lagi.
Jalan-jalan sore ini sudah direncanakan Nia dua minggu
sebelumnya. Dia akan menghabiskan sore ini dengan seseorang yang telah
memberinya sandal tersebut. Tapi Nia melupakan satu hal. Dia belum minta izin
sama ayah ibunya. Untuk hal yang satu ini Nia memang sengaja melakukannya di
detik-detik terakhir. Alasannya supaya tidak banyak pertanyaan katanya. Nia
ingat betapa dulu dia di interogasi habis –habisan oleh ayahnya perihal dia mau
pergi sama teman-temanya ke puncak setelah sekolah. Satu minggu dari dia minta
Izin sampai hari H keberangkatannya. Padahal ayah ibu Nia sudah sangat kenal
dengan teman-teman Nia. Sampai Mita, sahabat Nia dari SD, meminta izin pada
ayahnya Nia baru Nia di izinkan pergi.
Kali ini Nia pergi
tidak dengan Mita atau teman-temannya yang lain. Diizinkan tidak ya ?
Ahh… Nia kemudian menhempiskan pikiran itu kemudian bergegas memakai sandal
barunya dan mencari ibu ke ruang TV. Untungnya ayah belum pulang kerja. Bisa
berabe kalau ketahuan pergi pas ayah pulang. Ajang interogasi bisa dimulai dan
berlarut-larut.
Nia menemukan ibunya sedang menonton acara gosip-gosip di
TV. Itu memang acara favorit ibu. Dari jam 3 sampai jam 5 sore ibu sudah
memonopoli TV yang colournya hanya biru dan kuning semua. Sambil memegang
remote supaya tidak diganti-ganti oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, contohnya kedua adikku itu.
Sesudah diyakini ibunya sedang asik menonton, Nia
mengambil majalah ibunya dan membolak-balikkan halamannya di ruang tamu. Nia
menunggu orang yang menghadiahi sandal. Sepuluh menit kemudian terdengar suara
mobilnya. Nia sudah hapal suara mobil yang digunakan orang – orang. Jarak 3
meter dari rumahnya, Nia sudah tahu mobil siapa yang akan datang; ayahnyakah,
mobil antar jemput adik-adiknya kah, bajaj yang mengantar abangnya kah,
termasuk mobil si Dia ini. Semakin suara itu mendekat, semakin berdebar pula
jantung Nia. Nia selalu merasakan getaran jantungnya ketika sesuatu dari orang
itu muncul. Entah suaranya yang di telepon atau ya suara mobil yang
digunakannya ini.
Sebetulnya ayah ibu Nia sudah sangat kenal dengan sosok
pria yang dinantikan Nia ini. Namun karena dia pria, ayahnya tetap saja agak
ribet kalau berhubungan dengan Nia. Tidak saja dengan orang ini, namun dengan
semua laki-laki teman sekolahnya juga begitu. Sedangkan untuk orang seperti Nia
teman laki-lakinya banyak sekali, jadi bayangkan saja ribetnya Nia dengan
Ayahnya tersebut.
Mobil toyota corola tahun ’79 warna merah marun, parkir
di depan rumah Nia. Inilah saat yang paling mendebarkan yang ditunggu-tunggu
Nia. Sosok pria idamannya turun dari mobilnya, kemudian menghadap ke pintu
mobil untuk menguncinya. Sebetulnya tidak perlu dikunci, toh tidak ada yang melirik
mobilnya. Mobilnya tidak mulus-mulus amat. Namun pengemudinya sangat dinantikan
Nia hingga tampak semua yang digunakan orang itu sangatlah mulus baginya.
Rambut pendek hitam ikal, kacamata bening menghias
matanya yang bundar, hidung mancung, bibir tipis warna merah muda tanda tidak
pernah merokok, ukuran badan sangat proporsional dengan tingginya yang mencapai
1,79 m itu. Dia memakai kaos berkerah warna maroon di masukkan ke celana jeans
gelapnya. Sepatu sandal hitam sebagai alas kakinya, berjalan sambil tersenyum
kearah Nia yang telah siap membukakan pintu baginya. “ He Nia, pa kabar ? Long
time no see huh!” ucapnya seraya menghampiri Nia dan mengecup keningnya. Nia
pun membiarkan Michael berperilaku seperti itu, sambil membatin “ mudah-mudahan
emak gue gak ngeliat, he…he..he.. enaaak…enaak….”.
Nia mempersilahkan masuk dan bergegas ke belakang
menyiapkan minuman sirup untuk disuguhkan ke Michael. Michael seusia dengan
Andi. Dia pernah menjadi kakak kelas Nia ketika di SMP, namun ia mengambil
kuliah di Bali. Alasannya mencari hidup mandiri tanpa satupun orang yang dia
kenal di tempat itu. Sejak masuk SMP Nia sudah mengagumi kakak kelasnya yang
satu ini. Bagaimana tidak ? Dari segi fisik dambaan setiap wanita banget, suka
main basket dan menang di beberapa kejuaraan yang diadakan tingkat SMP dulu.
Selain itu dia juga cerdas, berwibawa, dan mempunyai kharisma. Pokoke Te O Pe
deh!
Cuma yang Nia bingungkan hingga sekarang ini adalah
kenapa Michael melirik dirinya yang kalau dibanding dengan wanita lain tidak
menyolok amat. Prestasi akademis biasa aja, kadang malah sering anjlok. Bukan
sport freaks seperti kebanyakan wanita seusianya; basketlah, cheerleader lah,
dance, volley. Nia juga termasuk cewek yang tidak terlalu suka pesta-pesta
hingga malam, atupun keluyuran tidak tahu juntrungannya. Namun di balik
kebingungannya itu, Nia tersenyum bangga telah berhasil menakhlukkan pria
pujaan bangsa.
Disuguhkannya
gelas berisi sirup cocopandan dingin dan diletakkan di atas meja di depan
Michael, kemudian Nia duduk di kursi sofa sebelahnya. Michael mengambil gelas
tersebut kemudian mendekatkannya kebibirnya dan ditegaknya sirup itu
berkali-kali hingga tinggal setengah gelas dan diletakkannya kembali ke atas
meja. “ Sorry nih, haus. Panas bener Jakarta, AC gue juga lagi panas tuh,
kayaknya freonnya habis deh” ucapnya sambil menghapus sisa air di mulutnya.
Kasihan deh luh, batin Nia sambil tersenyum.
“ Kita mau kemana hari ini ? Jadi nontonnya?”
“ Ya … jadilah, tapi gue belum laporan ama nyokap. Gue
rasa sih mendingan ASAP, supaya gak ketahuan bokap gue, ntar rese lagi. Udah
mau berger sekarang?”
“ Boleh, terserah aja”
“ Ya udah, ntar dulu ye gue bilang dulu ama emak gue,”
jawab Nia yang kemudian berjalan mendekati ibunya yang masih asik menonton TV.
“ Bu, aku mau pergi dulu ya. Jalan- jalan sama Michael, yah ?
daaah…assalamu’alaikum!” Segera Nia memakai sepatu dan menyandang tasnya,
kemudian berjalan cepat mengarah ke ruang tamu, tempat Michael menunggu.
Michael telah berdiri menghadap ke ruang TV ketika Nia mendekati
dirinya. “ Tante saya pergi jalan-jalan dulu bawa Nia tante, permisi, “
sahutnya pada Ibu Nia yang masih terbengong-bengong melihat anaknya pergi, dan
langsung tersenyum mengangguk pada Michael seraya mengijinkan kepergian anaknya
bersama pria tersebut.
Masuk ke mobil dan duduk di kursi depan menemani Michael
yang akan mengemudi. Dilihatnya tape yang berfungsi sebagai pemanis mobil,
namun radio masih berfungsi sebagaimana fungsinya. Dirabanya jok mobil hitam
semi kulit yang didudukinya oleh tangannya yang putih. Terasa angin yang hampir
dirasakan panas di lehernya membuat Nia tersenyum geli sambil memandangi
Michael. “ He…he..he… gak usah pake AC dulu ye, buka kaca aja ,OK?” Michael menyeringai ketika diamati oleh Nia
sambil mematikan ACnya.
Beberapa detik kemudian mereka melaju meninggalkan rumah
Nia. Menurut Nia, mau mobil butut kek,
radio tape sebagai pajangan kek, ACnya angin cepoi-cepoi kek, yang penting gue
bisa berduaan ama die, he…he…he… Diperjalanan mereka mendengarkan radio favorit
mereka. Lagu Sunday Mornin’ dari
Maroon 5 dikumandangkan. Berdua mereka mengikuti lirik lagu tersebut. Lima blok
telah dilewati, tiba-tiba terdengar suara dari mobil, DUAR BUMM BUMM BUMM , dan
asap putih mengepul keluar dari kap mesinnya.
Nia dan
Michael saling memandang kebingungan. Michael langsung keluar mobil dan membuka
kapnya. Asap putih makin banyak yang keluar. Beberapa saat kemudian wajah
michael muncul dari balik kap mesin yang terbuka, di tengah kepulnya asap putih
dengan wajah menyeringai pada Nia. “ Sorry Ni, kayaknya gue lupa kasih minum
mobil gue, jadi kepanasan nih. Mesti nunggu dingin dulu baru bisa di kasih air.
Sorry banget nih. Elo keluar aja dulu ye, panas didalem ntar berkuah lagi,”
kata Michael bergurau salah tingkah. “Dari tadi mulai berangkat juga udah
berkuah,” batin Nia tersenyum geli.
Hari sudah
mulai magrib. Awan mulai gelap, banyak mobil berjalan kearah rumahnya
masing-masing. Nia mengamati Michael yang sedari tadi mengibas-ngibaskan
tangannya pada mesin dengan maksud agar cepat dingin. Michael sesekali menyeka
keringatnya dengan saputangan yang selalu di bawa pada setiap kesempatan. Tak
berapa lama wajah michael mulai tampak lega. “ Kayaknya udah bisa diisi air
nih, ntar ya gue ambil airnya di bagasi.” Bergegas pria itu menuju bagasi dan
membukanya. Setelah menutup kembali, Michael telah membawa sebotol air. Ia
mulai mengisi kaburatornya pelan-pelan. Setelah terisi cukup, ia menutup kapnya
dan mengacungkan ibujari tangan kanannya ke atas pada Nia menandakan bahwa
mobilnya sudah layak jalan lagi.
Nia yang
sedari tadi menunggu di sisi mobil tersenyum dan bernafas lega. Ia masuk ke
mobil mengikuti apa yang dilakukan pria tersebut. Setelah duduk kemudian
mengucapkan Basmallah, Michael menyalakan mobilnya. Deruung drung
duuuuungngngngng….. artinya mobil sudah siap lepas landas. Wajah Michael
sumeringah mendengar suara mobil kesayangannya dan mobil pun dijalankan.
Lima belas
menit perjalanan terdengar dari radio suara penyiar favorit mereka. Kemudian
ketika intro dari lagu So What Gitu Loh-nya
Saykoji mulai dikumandangkan, tiba-tiba terdengar suara
DUAR…Bret..Bret..Bret..mobil berjalan seperti dijalan yang bergelombang. Dengan
tangkas Michael meminggirkan mobilnya ke sebelah Kiri jalan. Setelah berhenti
parkir dengan baik, Michael keluar mobil memeriksa ban di sebelah kiri. Tak
lama Nia mendapati Michael mnggeleng-gelengkan kepalanya dan menggaruk
sebentar, kemudian menunduk mendekati kaca pintu Nia dengan wajah penuh
penyesalan.
“ Sorry
banget nih Ni. Ban mobil gue pecah. Tuh lihat tuh, yang belakang. Ban serep gue
juga lagi bocor, gue mesti cari tukang ban nih. Tukang ban yang terdekat mana
ya ?” katanya sambil clingak-clinguk ke kiri dan kekanan. Nia pun ikut membantu
melihat kekiri dan kekanan mencari tukang ban yang buka. Namun, tampaknya tak
ada satupun tukang ban disekitar situ. Lalu Nia ingat disekitar warung yang
berjarak dua blok dari tempat mereka parkir ada tukang ban. Nia pun
merekomendasikan tempat tersebut.
“ Tapi itu
kan agak jauh, elo gak pa-pa nunggu disini sendirian? Gue jalan kesana dulu.
Gue lari deh biar elu gak lama, ok?
“ Elu mau
lari sambil bawa ban? Yang beneran aje? Udahlah gak pa-pa. Gih sana buruan, gue
tungguin deh, tapi usahain jangan dilama-lamain ye. Manyun nih gue,” sahut Nia
sambil pura-pura disungutin. “ O K boss,” jawab Michael sambil tersenyum.
Dengan
tangkas Michael mencopot ban mobilnya dan setengah berlari mebawa ban tersebut
ke tukang ban terdekat. Nia menunggu Michael di dalam mobil. Kacanya di buka karena
AC tidak nyala. Hanya semilir suara dari radio yang didengarnya dari tadi yang
menemaninya. Suara Adzan mulai bergema. Nia mengamati langit, orang-orang yang
bergegas pulang dengan mobilnya ataupun motor, sedangkan dia terpuruk disini
sendirian di dalam mobil butut, ditemani radio kecil. Nia membatin sambil
tersenyum sendiri.
Ditunggu-tunggu
sepuluh menit, lima belas menit, hampir setengah jam Michael belum kembali.
Wah… jangan-jangan gue ditinggal sendirian nih dengan mobil butut ini, batin
nia mulai berburuk sangka. Udah nih mobil juga gak bakalan laku lagi dijual,
bakal apaan juga buat gue.
Sudah
hampir jam tujuh lewat Michael belum terlihat batang hidungnya. Beberapa saat
kemudian tampak oleh Nia sosok pria jangkung membawa ban dengan setengah
berlari, terengah-engah menuju Nia. Nia sangat senang bukan main. Ditinggal
malam-malam sendirian meskipun masih didaerah rumahnya bukan hal yang bisa
dijadikan hobi untuk Nia. Begitu sampai di dekat Nia, Michael berhenti untuk
menarik napas, terengah-engah, kemudian terduduk di samping ban yang
dipegangnya. Keringat mengalir di kening dan lehernya. Bajunya telah basah oleh
keringat, namun Michael tetap tersenyum pada Nia dan mentertawakan kebodohannya
sendiri. “ Sorry, kelamaan ya. Ngantri, kayaknya banyak nih korban yang kena
paku di daerah sini jadi lama deh. Kamu gak pa-pa kan ?” Nia menggelengkan
kepala sambil tersenyum kegelian melihat keadaan Michael saat ini.
Hari makin
gelap seraya Michael berusaha membenarkan ban mobil pada posisinya. Setelah
selesai dengan penuh kerja keras, Michael mengembalikan dongkrak ke bagasi
menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, lalu mencari tisu basah untuk
membersihkan telapak tangannya di dalam mobil. Michael memberi isyarat pada Nia
untuk kembali masuk mobil, duduk di jok depan. Setelah Michael duduk dan
menutup pintunya, Ia melirik keatas melihat keadaan langitnya. Kemudian ia
melirik jam tangannya. Waktu telah menunjukkan hampir jam delapan malam.
“ kamu
masih mau pergi Ni? Udah malam dan kita masih disini.” Nia melihat keluar kemudian melirik jam
tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan
pukul 19.49. Nia berpikir, kalau dia memaksa jalan-jalan saat itu juga
pulangnya akan makin terlambat, namun kalau tidak maksa kapan lagi jalan-jalan
?. Melihat wajah Nia yang kebingungan begitu membuat Michael tersenyum. Ia
menggenggam tangan kanan Nia membuat Nia tersentak kaget dari lamunannya.
“ Nia, kamu
gak usah kebingungan gitu dong. Hari ini kita pulang aja, gak enak sama ayah
kamu. Kan sudah malem. Kapan-kapan kita kan bisa jalan lagi,” ucap Michael
berusha menenangkan Nia.
“ Ya.. tapi
kamu besok pagi kan udah balik lagi ke Bali, kapan ketemu lagi,” ucap Nia
bersungut-sungut.
“ Halaaa…
semester depan juga ketemu lagi. Dari pada kita dimarahin bapakmu trus kita
malah gak bisa ketemu sama sekali, gimana? Mana yang kamu pilih ?”
Tersentak
juga Nia oleh ucapan Michael. Memang mereka bermain aman saat ini. Selalu
mengikuti suasana kehidupan keluarga Nia, namun hal itu tidak pernah mengganggu
Michael. Malah ia dengan senang hati beradaptasi dengan budaya keluarga Nia dan
itu yang membuat Michael masih bertahan dengan Nia dibanding pria-pria lain.
Akhirnya
Nia menyetujui pendapat Michael. Michael mengarahkan mobil mereka kembali ke
rumah Nia. Sesampainya disana sudah ada ayah Nia sedang menonton TV berserta
abangnya yang sedang mengajari adik-adiknya mengerjakan PR bahasa Inggris. Andi
memang rajin mengoreksi PR adiknya, termasuk PRnya Nia.
Sesampainya
dirumah Dito membukakan pintu dan berkata, “ Kak Nia, tadi dicariin ayah lho,
tuh ayah nanya-nanya terus. Udah dibilang pergi sama kak Michael masih aja
ditanyain.” Michael tersenyum saja mendengar laporan Dito.
“assalamu’alaikuuuuum,”
sahut Nia dan Michael hampir bersamaan. “waalaikum salaaam,” terdengar jawaban
berat dari dalam. “ Oh.. ada nak Michael ya ?” kata ayah Nia, “ ayo silakan
masuk, gimana kuliahnya?” Whalaaa
nanya-nanya, tadi interogasi, sungut Nia membatin. Nia langsung masuk kamarnya
untuk meletakkan tasnya. Setelah ia mencuci muka, Nia kembali ke ruang tamu
untuk melihat Michael. Ternyata yang dilihat sudah tidak ada di ruang tamu. Nia
pun bingung, yang ada didekat situ tinggal kakaknya Andi dengan dua adiknya. Ia
pun bertanya pada Andi,” Ndi! Michael mana? Udah pulang emangnya?” “ Tuh lagi di ruang kerja sama ayah” jawab Andi
dengan cueknya.
Nia segera
ke ruang kerja ayahnya. Benar Michael
ada di ruang tersebut bersama ayahnya sedang membahas program komputer yang
baru diketahui ayahnya dari kantor. Dengan bersungut-sungut Nia mencoba
bersabar menanti Michael menyelesaikan diskusinya. Jam sembilan telah lewat,
jam sepuluh telah lewat, akhirnya Nia tak tahan menahan kantuknya. Ia ke ruang
kerja lagi. Michael sedang sendirian mengutak-atik komputer ayahnya. Nia pun
mendekati Michael,” Mike, gue ngantuk banget. Sorry gak bisa nganterin elu
pulang. Nanti kalo pulang, pulang aja ya gak usah pamit ama gue. Gue ngantuk
berat nih yeh, deeeh…” Michael pun
menatap wajah Nia yang sudah menguap berkali-kali dengan tersenyum, “ iya deh
non. Sorry yah hari ini jadi berantakan but I have a nice day with you, Thanks
ya,” ucap Michael sambul mengusap kepala
Nia.
Nia pun
tersenyum, tak berapa lama ayahnya kembali dari kamarnya sambil membawa
kertas-kertas kerjaan. Tanpa
memperdulikan Nia yang masih berdiri disitu ia pun melanjutkan pembicaraannya.
Nia hanya menggelengkan kepala dan beranjak pergi dari ruang kerja ke kamarnya.
Huh, bokap gue – bokap gue. Udah tahu anak gadisnya cuma semata wayang, eh…
temen lakinya juga diembat , tega bener, batin Nia sambil memejamkan mata.
Ditulis oleh
Shinta Dewi Wijiarti,
Jakarta, ruang kerja, 28 Juni 2005, Pk. 07.00 wib
Komentar
Posting Komentar