“Kegembiraan itu menular, kebaikan itu menular dari satu
orang ke orang lainnya,” demikian kata Bu Sastro… (hlm. 118).
Bu Sastro adalah salah seorang pemilik warung makan
sederhana di area pemukiman gang sekitar kampus ITB dan kampus-kampus lain di
Bandung. Awalnya ia hanya menyediakan warung nasi biasa. Namun karena ada kejadian
Pak Sastro tidak bekerja lagi karena tempat bekerjanya tutup, alhasil pasangan
suami istri tersebut harus mencari jalan lain untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangganya.
Pelanggan warung Bu Sastro adalah mahasiswa yang bersekolah
di sekitar situ, ITB, UNISBA, dan lain-lain. Salah satu pelanggannya jugalah
yang menyarankan Bu Sastro untuk membuka warung nasi dengan metode Tionghoa.
Latar belakang cerita di buku ini adalah pada tahun 1980-an.
Tergambar dari ceritanya menggunakan sepeda ontel, menimba air sebelum ke kamar
mandi, menonton dengan televisi cembung, belum lagi ibu masih menggunakan surat
menyurat dan buku catatan untuk berkomunikasi dengan pelanggannya. Selain itu, nilai uang yang berlaku saat bertransaksi, Rp.
25,- hingga Rp. 500.000,- sudah dinilai sangat besar sekali.
Konsep bisnis yang saya pelajari dari Warung Bu Sastro adalah:
- Metode Tionghoa. Menjual dengan harga Rp. 25,- lebih murah dibanding warung-warung lain.
- Memerhatikan makanan kesukaan para pelanggannya dan berusaha memenuhinya.
- Memerhatikan kebutuhan para pelanggannya. Jika pelanggannya sedang sakit, Bu Sastro menyiapkan menu bubur. Selain itu, Bu Sastro juga memberikan pelayanan antar makanan untuk pelanggan yang tidak bisa keluar rumah karena sakit, hujan, ataupun sedang sibuk belajar untuk ujian.
- Bu Sastro selalu memberikan kualitas yang terbaik. Menurutnya mahasiswa itu perlu makanan yang baik dan bergizi untuk mendukung kualitas belajarnya.
- Bu Sastro selalu mendoakan yang terbaik untuk pelanggannya. Bila pelanggannya lama tidak datang ke warung, Bu Sastro tak luput mendoakannya.
Warung Bu Sasro menjadi tempat yang nyaman bagi para mahasiswa pelanggannya. Bukannya hanya untuk makan, tetapi juga untuk belajar, berbincang-bincang, bahkan bertemu dengan jodoh. Meskipun demikian, Bu Sastro tak luput dari masalah dalam perdagangannya. Ada juga mahasiswa yang tidak membayar makannya atau terpaksa berhutang. Tapi Bu Sastro tetap memberikan doa yang terbaik untuk mereka.
Ada suatu pemikiran yang saya suka dari sosok Bu Sastro. Ini
tercantum di akhir-akhir cerita. Bu Sastro berpendapat, bahwa saat warungnya
rame itu karena dicukupkan oleh Sang Pencipta. Itu pun karena beliau hanya
meminta supaya segala kebutuhan dirinya dan anaknya yang paling kecil, Mono,
terpenuhi terutama biaya pendidikan sampai Mono lulus dan bekerja di salah satu
pabrik di Bogor.
Setelah Mono lulus, bekerja, dan memiliki keluarga sendiri,
serta bisa dibilang mapan, lambat laun keramaian warung bu Sastro berangsur
menurun. Setelah operasional warung
dipegang oleh istri anak pertamanya, Warung bu Sastro tidak seramai dulu lagi.
Anak-anak zaman sekarang lebih suka makan yang cepat saji dan asik dengan
gawainya, katanya. jadi tidak senang bercengkrama saat makan bersama. Begitu
menurut Bu Sastro.
Judul: Warung Bu Sastro, Tidak Rugi Berbisnis dengan Hati
Penulis: Pauline Leander
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 295
Komentar
Posting Komentar